Dalam sebuah tayangan infotainment, seorang artis memperlihatkan kesibukannya saat menanti waktu syuting. Di lokasi, ia membawa kursi lipat sendiri yang bisa disetel jadi kasur. Kemudian saat ditanya tips apa saja yang bisa ia sarankan bagi artis-artis lainnya yang menunggu jatah syuting, ia menyarankan begini: “Daripada bengong saja lebih baik dengerin Ipod atau browsing BB.” Dari semua sarannya yang cuma segelintir itu tak terselip satu pun saran untuk membaca buku di saat senggang.
Pendapat artis itu saya anggap mewakili status buku bagi mereka yang berkecimpung di dunia hiburan atau generasi muda. Saya tidak yakin artis itu bisa menjawab bacaan atau buku favorit apa yang sering dibacanya. Sementara membandingkan dengan artis Hollywood, sebutlah Scarlett Johansson. Artis cantik sensual ini menggemari buku Marjorie Morningstar karya Herman Wouk dan The Curious Incident of the Dog in the Night-Time by Mark Haddon. Penulis favoritnya adalah J.D. Salinger.
Beberapa waktu lalu saya pernah ditanya teman yang usianya jauh lebih muda. Sekitar lima tahun lebih muda umurnya. Ia heran kenapa di tas saya selalu ada buku—biasanya novel. Ia bertanya, berapa lama waktu yang harus saya habiskan untuk menyelesaikannya. Tergantung, kata saya. Jika menarik ceritanya bisa cuma seminggu. Waktu membacanya saya sempatkan saat berada di mobil, taksi, atau bus, atau saat menunggu suami menjemput.
Sekarang dengan menjamurnya perangkat ponsel pintar, saya semakin jarang mendapati orang membaca saat berada di tempat makan, kedai kopi atau restoran. Padahal sebelum banyak teknologi tersebut, banyak media gratisan yang ditaruh di tempat-tempat tersebut. Saya masih mengingat masa-masa di mana media semacam itu laris manis diambil para pengunjung tempat minum kopi. Mereka menunggu sambil membolak-balik majalah yang sebenarnya lebih banyak berisi directory, review, atau foto produk.
Sekitar beberapa bulan ini, pekerjaan saya banyak berhubungan dengan produk-produk yang akan dipasarkan atau bisa dilihat di dalam Ipad. Satu hal yang membuat saya ngiler adalah saya bisa membaca banyak buku di dalam benda mungil tersebut. Saya bisa membayangkan bahwa buku setebal Ulysses karya James Joyce bisa dibaca dengan lebih nyaman karena tidak perlu terbebani dengan beratnya.
Sayangnya melihat animo membaca anak-anak sekarang kok rasanya saya jadi agak pesimis ya. Bisa jadi benda seindah Ipad hanya digunakan untuk fitur-fitur tertentu. Misalnya hanya untuk browsing, melihat menu-menu interaktif seperti film dan yang lainnya. Membaca mungkin masih dilakukan, tapi saya duga kebanyakan untuk melihat majalah atau surat kabar.
Teman saya seorang dosen di sebuah universitas pendidikan di Jakarta. Ia suatu kali bercerita tentang kebiasaan murid-muridnya sekarang yang berbeda dengan masanya saat menjadi mahasiswa. “Sekarang ini kalau ngasih tugas ke mahasiswa, harus aku teliti banget. Soalnya mereka suka hanya mengambil bahan-bahan dari internet atau google. Kelihatan banget bedanya kok dengan mereka yang menulis tugas dengan betul-betul mengambil dari buku,” ujar teman saya itu.
Kemampuan dan stamina untuk membaca teks dari sebuah buku—tanpa ilustrasi—memang menguji kesabaran pembaca. Namun di satu sisi, dengan buku kita bisa mengembangkan imajinasi secara personal. Mau tak mau saya jadi mengaitkan kenapa sekarang ini orang lebih memilih atau menyukai membaca majalah atau sesuatu yang visual. Kaitannya dengan kesabaran. Orang memilih mendapatkan informasi secara instan alias malas, terbiasa untuk didikte sehingga nyaman-nyaman saja ketika imajinasinya sudah terdefinisikan oleh visual, dan juga erat kaitannya dengan budaya lisan.
Membaca buku menurut saya kebiasaan. Kita bisa menanamkan kebiasaan ini pada anak-anak kita. Saya optimis dengan hal ini, sama optimisnya ketika saya suatu hari melihat seorang gadis remaja mengambil serangkaian buku cerita klasik seperti Tom Sawyer dan Huckleberry Finn. Ia mengambil buku-buku itu sambil melihat sebuah buku tulis di tangan kirinya. Saya lirik ada sederetan judul-judul buku di sana. Kiranya ia mengambil buku-buku klasik itu sebagai bagian dari tugas sekolahnya. Tak masalah dengan cara tersebut. Kadang manusia memang harus disuruh untuk menanamkan sebuah kebiasaan. Kalaulah baik, mengapa tidak kan?
Kemampuan dan stamina untuk membaca teks dari sebuah buku—tanpa ilustrasi—memang menguji kesabaran pembaca. Namun di satu sisi, dengan buku kita bisa mengembangkan imajinasi secara personal. Mau tak mau saya jadi mengaitkan kenapa sekarang ini orang lebih memilih atau menyukai membaca majalah atau sesuatu yang visual. Kaitannya dengan kesabaran. Orang memilih mendapatkan informasi secara instan alias malas, terbiasa untuk didikte sehingga nyaman-nyaman saja ketika imajinasinya sudah terdefinisikan oleh visual, dan juga erat kaitannya dengan budaya lisan.