Buku

Dalam sebuah tayangan infotainment, seorang artis memperlihatkan kesibukannya saat menanti waktu syuting. Di lokasi, ia membawa kursi lipat sendiri yang bisa disetel jadi kasur. Kemudian saat ditanya tips apa saja yang bisa ia sarankan bagi artis-artis lainnya yang menunggu jatah syuting, ia menyarankan begini: “Daripada bengong saja lebih baik dengerin Ipod atau browsing BB.” Dari semua sarannya yang cuma segelintir itu tak terselip satu pun saran untuk membaca buku di saat senggang.

Pendapat artis itu saya anggap mewakili status buku bagi mereka yang berkecimpung di dunia hiburan atau generasi muda. Saya tidak yakin artis itu bisa menjawab bacaan atau buku favorit apa yang sering dibacanya. Sementara membandingkan dengan artis Hollywood, sebutlah Scarlett Johansson. Artis cantik sensual ini menggemari buku Marjorie Morningstar karya Herman Wouk dan The Curious Incident of the Dog in the Night-Time by Mark Haddon. Penulis favoritnya adalah J.D. Salinger.

Beberapa waktu lalu saya pernah ditanya teman yang usianya jauh lebih muda. Sekitar lima tahun lebih muda umurnya. Ia heran kenapa di tas saya selalu ada buku—biasanya novel. Ia bertanya, berapa lama waktu yang harus saya habiskan untuk menyelesaikannya. Tergantung, kata saya. Jika menarik ceritanya bisa cuma seminggu. Waktu membacanya saya sempatkan saat berada di mobil, taksi, atau bus, atau saat menunggu suami menjemput.

Sekarang dengan menjamurnya perangkat ponsel pintar, saya semakin jarang mendapati orang membaca saat berada di tempat makan, kedai kopi atau restoran. Padahal sebelum banyak teknologi tersebut, banyak media gratisan yang ditaruh di tempat-tempat tersebut. Saya masih mengingat masa-masa di mana media semacam itu laris manis diambil para pengunjung tempat minum kopi. Mereka menunggu sambil membolak-balik majalah yang sebenarnya lebih banyak berisi directory, review, atau foto produk.

Sekitar beberapa bulan ini, pekerjaan saya banyak berhubungan dengan produk-produk yang akan dipasarkan atau bisa dilihat di dalam Ipad. Satu hal yang membuat saya ngiler adalah saya bisa membaca banyak buku di dalam benda mungil tersebut. Saya bisa membayangkan bahwa buku setebal Ulysses karya James Joyce bisa dibaca dengan lebih nyaman karena tidak perlu terbebani dengan beratnya.

Sayangnya melihat animo membaca anak-anak sekarang kok rasanya saya jadi agak pesimis ya. Bisa jadi benda seindah Ipad hanya digunakan untuk fitur-fitur tertentu. Misalnya hanya untuk browsing, melihat menu-menu interaktif seperti film dan yang lainnya. Membaca mungkin masih dilakukan, tapi saya duga kebanyakan untuk melihat majalah atau surat kabar.

Teman saya seorang dosen di sebuah universitas pendidikan di Jakarta. Ia suatu kali bercerita tentang kebiasaan murid-muridnya sekarang yang berbeda dengan masanya saat menjadi mahasiswa. “Sekarang ini kalau ngasih tugas ke mahasiswa, harus aku teliti banget. Soalnya mereka suka hanya mengambil bahan-bahan dari internet atau google. Kelihatan banget bedanya kok dengan mereka yang menulis tugas dengan betul-betul mengambil dari buku,” ujar teman saya itu.

Kemampuan dan stamina untuk membaca teks dari sebuah buku—tanpa ilustrasi—memang menguji kesabaran pembaca. Namun di satu sisi, dengan buku kita bisa mengembangkan imajinasi secara personal. Mau tak mau saya jadi mengaitkan kenapa sekarang ini orang lebih memilih atau menyukai membaca majalah atau sesuatu yang visual. Kaitannya dengan kesabaran. Orang memilih mendapatkan informasi secara instan alias malas, terbiasa untuk didikte sehingga nyaman-nyaman saja ketika imajinasinya sudah terdefinisikan oleh visual, dan juga erat kaitannya dengan budaya lisan.

Membaca buku menurut saya kebiasaan. Kita bisa menanamkan kebiasaan ini pada anak-anak kita. Saya optimis dengan hal ini, sama optimisnya ketika saya suatu hari melihat seorang gadis remaja mengambil serangkaian buku cerita klasik seperti Tom Sawyer dan Huckleberry Finn. Ia mengambil buku-buku itu sambil melihat sebuah buku tulis di tangan kirinya. Saya lirik ada sederetan judul-judul buku di sana. Kiranya ia mengambil buku-buku klasik itu sebagai bagian dari tugas sekolahnya. Tak masalah dengan cara tersebut. Kadang manusia memang harus disuruh untuk menanamkan sebuah kebiasaan. Kalaulah baik, mengapa tidak kan?

Kemampuan dan stamina untuk membaca teks dari sebuah buku—tanpa ilustrasi—memang menguji kesabaran pembaca. Namun di satu sisi, dengan buku kita bisa mengembangkan imajinasi secara personal. Mau tak mau saya jadi mengaitkan kenapa sekarang ini orang lebih memilih atau menyukai membaca majalah atau sesuatu yang visual. Kaitannya dengan kesabaran. Orang memilih mendapatkan informasi secara instan alias malas, terbiasa untuk didikte sehingga nyaman-nyaman saja ketika imajinasinya sudah terdefinisikan oleh visual, dan juga erat kaitannya dengan budaya lisan.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Karena Bapak Saya Militer dan Tidak Pernah Membunuh

Dalam hidup saya sangat menghindari fanatisme. Entah itu dalam agama maupun dalam menggemari figur atau sosok manusia. Saya menghindari fanatisme karena lahir dari keluarga minoritas. Dibaptis sebagai Katolik sejak bayi, saya yang berdarah Jawa dibesarkan di kota kecil, Kudus, yang dikenal sebagai Kota Santri. Sebagai Katolik Jawa, hidup di Kudus selalu berada dalam posisi canggung. Saat di sekolah negeri, agama yang saya jalankan membuat saya jadi minoritas. Begitu pula saat di gereja, kebanyakan jemaat berasal dari etnis Cina. Kecanggungan ini selalu mengondisikan saya untuk tak mudah mengungkapkan pemikiran dan sikap secara lisan terutama di masa Orde Baru. Mungkin karena itulah saya lebih nyaman menulis daripada berkata-kata.

 

Sikap menghindari fanatisme mungkin menurun dari Bapak saya. Semasa masih berdinas di militer, Bapak masih beragama Islam di KTP – meski saya tahu ia lebih cenderung agnotis kejawen. Dia baru dibaptis Katolik setelah pensiun yang saya rasa ia pilih lebih karena ingin beribadat bersama-sama dengan istri dan anaknya. Pandangan yang tidak fanatis ini juga diperlihatkan Bapak dengan menyetujui pilihan pasangan anak-anaknya. Saya menikah dengan lelaki Batak Kristen dengan sebuah upacara di gereja yang menghadirkan Pendeta dan Pastur secara bersama-sama. Sampai sekarang pun saya dan suami tetap menjalankan agama masing-masing. Salah satu kakak ipar saya beretnis Cina.  

 

Semua contoh perilaku anti fanatisme yang diajarkan Bapak dan Ibu saya inilah yang mendorong saya memilih Jokowi. Ukurannya bagi saya jelas: saya akan lebih memberikan suara kepada capres yang bisa memberi jaminan bagi rakyatnya untuk terhindar dari fanatisme berlebihan yang tidak memberi ruang bagi kebebasan individu untuk menjalankan hidupnya. Saya tidak terlalu menekankan pada janji-janji program ini itu, semuanya bisa saja tidak dijalankan kedua belah pihak ketika sudah menjabat. Namun, begitu ada unsur-unsur kelompok fanatik yang mendukung salah satu capres, maka bagi saya, dia tidak layak dipilih. Selain itu, bagaimana mungkin seorang presiden bisa menjalankan janji programnya – sebaik apa pun – jika ia tidak menghargai nyawa manusia? Program sebaik dan sesempurna apa pun akan sia-sia jika tidak dimulai dari penghargaan akan nyawa.

 

Karena menghindari fanatisme itulah, di keluarga kami juga tetap menghargai pilihan masing-masing. Atas pilihan seorang kakak pada Prabowo, ibu saya memiliki jawaban yang sangat menyentuh hati saya.

“Prabowo itu mbunuh orang lho, Nduk,” kata ibu saya.

“Yah namanya juga militer, ya pasti ada lah momen terpaksa bunuh orang,” kata seorang kakak.

“Bapakmu juga militer, tapi dia nggak pernah bunuh orang,” jawab Ibu.

 

Ibu saya cuma lulusan SMP sebelum menikah dengan Bapak. Selama ini saya sering menganggap remeh kata-kata Ibu karena saya merasa lebih pintar dari dia. Tapi untuk jawaban dia ini, saya kalah pintar dari dia. Bahkan mengingatkan saya betapa sebenarnya Bapak tidak pernah bahagia berada di militer. Masih teringat saya momen-momen pemilu masa Orba sewaktu saya kecil, Bapak dan Ibu pulang dari pemilu dengan wajah kesal dan tegang karena terpaksa memilih Golkar.

 

Jawaban ibu terhadap kakak saya itu menguatkan pilihan saya. Bahwa pilihan saya muncul karena kami keluarga minoritas, bahwa kami diajarkan untuk tidak fanatik, bahwa kami diajarkan untuk menghargai nyawa, dan karena itu seharusnya kita mendapatkan pemimpin yang tidak memiliki jejak darah dalam hidupnya. Salam dua jari.

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar

Minimkah Ruang Pertunjukan untuk Seni Tari Indonesia?

Sewaktu panitia Indonesian Dance Festival 2012 mengadakan konferensi pers tentang lomba tari bagi para penari pemula sebagai rangkaian festival ini pada pertengahan April, mengemuka pertanyaan dari beberapa jurnalis tentang keberadaan ruang pertunjukan bagi seni pertunjukan di Jakarta, terutama untuk pemanggungan tari.

 

Pihak pemerintah DKI Jakarta menjawab dengan menyebutkan sejumlah tempat kesenian yang sudah ada. Dari Graha Bhakti Budaya, Teater Jakarta, Gedung Kesenian Jakarta, hingga Balai-Balai Kesenian yang ada di setiap wilayah kecamatan Jakarta.

 

Jika mendata tempat pertunjukan untuk kesenian, ukurannya tentulah harus dibandingkan dengan jumlah pertunjukan yang digelar. Apakah pertunjukan seni di Jakarta (saja) tidak lagi tertampung oleh gedung pertunjukan yang ada? Termasuk dengan ruang-ruang pertunjukan di pusat kebudayaan asing?

 

Keberadaan ruang bagi pertunjukan bukanlah masalah yang genting untuk dipersoalkan saat ini. Meski hampir setiap bulan ada pertunjukan – entah itu teater, musik, tari – tetap ada ruang yang kosong yang tidak menjadi tempat pergelaran. Ini berarti bahwa produksi kesenian pertunjukan masih dalam taraf tertangani oleh kesediaan ruang.

 

Ruang bagaimanapun adalah elemen yang sudah terbentuk, pasti, benda mati yang tak lentur. Hanya di tangan manusialah, ruang akan menjadi unsur yang dihidupkan untuk mendukung dan menjadi bagian dari karya. Apa pun jenisnya.

 

Untuk bidang tari, ruang dipilih sebagai bagian dari konsep. Karya tidak didikte oleh ruang. Begitu pula seharusnya manusia penciptanya. Seharusnya bisa menjadi tantangan bagi koreografer untuk menjadikan karyanya bisa ditampilkan di mana saja.

 

Sejarah tari di Indoensia sendiri memperlihatkan bagaimana tari-tari rakyat tidak terikat dengan ruang yang harus berbentuk gedung pertunjukan yang resmi. Apalagi seniman tari keliling yang bisa ditanggap di mana saja.

 

Tari kontemporer pun demikian. Sejumlah seniman tari kontemporer kita membuktikan bahwa tari bisa sangat bersifat sosio-antropologis – dalam hal ini karya-karya Sardono W. Kusumo (di antaranya Dongeng dari Dirah, Hutan Plastik, Hutan Merintih)

 

Kemunculan ruang-ruang non-konvensional dan  non-formal juga mengiringi kebangkitan tari kontemporer dan posmodernisme di Barat. Perkembangan tari posmodernisme di Amerika contohnya, mengangkat ruang-ruang eksperimentasi seperti Judson Dance Theater dan Jacob’s Pillow.

 

Judson Dance Theater mengambil tempat di Judson Memorial Church yang terletak di Greenwich Village, Manhattan, New York. Tempat yang berada dalam bagian Gereja Judson itu kemudian menonjolkan nama-nama koreografer kontemporer-posmodern seperti Yvonne Rainer, Steve Paxton, Fred Herko, David Gordon, Deborah Hay, hingga Ruth Emerson.

 

Para koreografer yang tampil di Judson mengabaikan tentang kenyataan bahwa mereka menari semata-mata hanya di sebuah aula. Tidak ada ruang khusus bagi penonton untuk duduk. Penampil maupun penonton sama-sama berada dalam satu ruangan.

 

Keyakinan untuk tidak terikat pada ruang ini juga menjadi filosofi koreografer Amerika Serikat, Merce Cunningham dalam berkarya.

 

Pasangan koreografer Jepang Eiko dan Koma juga terkenal kerap menampilkan karya semi teatrikal yang bertempat di luar ruangan. Mereka tampil di taman, halaman kampus, lapangan parkir, alun-alun, danau, kolam, hingga kuburan.

 

Karya Eiko dan Koma berjudul River (1995) bertempat di aliran sungai, Breath (1998) tampil di ruang galeri Whitney Museum of American Art. The Caravan Project (1999) tampil di trailer yang dimodifikasi. Offering yang menyajikan ritual berduka secara bersama-sama, tampil di Battery Park dekat Ground Zero, New York pada 2002. Karya Offering, Tree Song (2004), dan Cambodian Stories Revisited (2007) pernah ditampilkan di pekuburan Gereja St. Mark’s di Manhattan. Sementara Water (2011) tampil di Hearst Plaza, New York.

 

Ruang konvensional pun bisa diperlakukan tak biasa. Ini bisa dilihat dari karya Astad Deboo, koreografer dari India yang pernah tampil di Gedung Kesenian Jakarta pada 2007. Saat tampil itu, alih-alih menari di panggung, Deboo memilih menyusuri balkon-balkon di pinggiran kursi penonton, menyusuri tiang-tiangnya, membuat penonton terpaksa memutar tubuh untuk mengikuti tingkah polah Deboo.

 

Ini membuktikan bahwa koreografi tak selalu harus terdikte oleh ruang. Layaknya tari Bedaya yang terkesan arsitektural ketika ditampilkan di pendopo.

 

Melepaskan diri dari ruang akan menjadikan tari lebih bisa mendekati masyarakat. Selama ini, dengan mengikatkan diri pada ruang pertunjukan konvensional, tidak akan terbentuk regenerasi penonton.

 

Diakui atau tidak, hanya penonton jenis tertentu yang sering mendatangi gedung-gedung kesenian di Jakarta atau kota-kota lain. Heterogenitas penonton kesenian di Indonesia baru didapati ketika mulai banyak tontonan-tontonan yang bersifat lebih populis atau tengah ngetren. Misalnya drama musikal yang tengah naik daun.

 

Berbeda halnya dengan pertunjukan tari di Indonesia yang bisa dibilang penontonnya itu-itu saja. Tidak terlalu banyak wajah-wajah baru yang terdorong untuk mendatangi pertunjukan tari.

 

Tak ada cara lain selain  meluaskan batasan ruang pertunjukan tari di Indonesia. Seharusnya bukan pertanyaan apakah ruang pertunjukan untuk seni tari sudah banyak atau tidak. Yang seharusnya digelisahkan adalah apakah tari kita bisa membuktikan diri untuk tampil di berbagai lokasi tanpa harus menjadi karya improvisasi ngawur tanpa struktur.

 

Pasalnya, inilah kecenderungan sebagian besar koreografer kita. Masih lemah menyusun struktur koreografi, dan ketika dihadapkan pada ruangan yang tak konvensional, gerakan yang diciptakan terlihat tanpa konteks karena bertumpu pada motivasi untuk sekadar mengisi ruang.

 

Masih perlu tantangan bagi para koreografer untuk menampilkan karya di ruangan publik. Street performance kita masih terlalu malu-malu. Padahal jika digarap dengan serius, ditampilkan di ruangan yang memang heterogen, bukan tidak mungkin akan terbentuk publik yang menerima dan menggemari tari kontemporer Indonesia.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Perayaan

Kabar gembira baru saja saya terima dari seorang kawan. Ia akan menikah untuk kedua kalinya. Pernikahannya yang pertama berakhir setahun silam. Jadi hanya butuh waktu setahun baginya untuk menemukan pendamping yang baru. Untuk pernikahan keduanya ini ia juga akan merayakannya dalam dua kali acara. Salah satunya di luar negeri.

Tak ada salahnya memang merayakan pernikahan yang bukan kali pertama. Toh apa pun atas nama cinta sangatlah pantas untuk dirayakan. Sepanjang masih ada rejeki, syah-syah saja kita berbagi kebahagiaan.

Nah, yang akan saya bahas di tulisan ini lebih kepada makna perayaan bagi perempuan. Saya masih ingat ketika mempersiapkan pernikahan. Fokus untuk tampil kinclong saat resepsi menjadikan saya menempuh cara yang sebenarnya wajar bagi kaum perempuan, namun terbilang ekstrem bagi lawan jenis. Dari diet, luluran, peeling, facial dan fitness. Ada teman saya yang khusus melakukan hair extention demi terlihat feminin. Tak heran ada istilah bridezilla. Plesetan dari bride dan Godzilla untuk merujuk kegilaan wanita saat menikah.

Kegilaan (semoga sesaat) itu pantas untuk dilakukan dengan asumsi bahwa pernikahan adalah perayaan sekali seumur hidup. Kapan lagi kita menjadi pusat perhatian dalam sehari. Menjadi raja dan ratu dimana para tamu undangan adalah rakyat yang datang membawa upeti.

Inilah yang membuat perempuan seolah merasa mendapatkan alasan untuk melakukan sejumlah persiapan fisik. Padahal selepas dipajang sehari penuh, ada kehidupan yang justru lebih menuntut persiapan mental. Pernikahan bukanlah perayaan sehari. Di dalamnya melibatkan kehidupan sehari-hari yang harus dilewati dua orang yang berbeda.

Kehidupan yang akan berganti selamanya inilah yang harus dijadikan perayaan setiap hari. Tanpa ada semangat untuk merayakannya, pasangan suami istri akan kehilangan bara cinta yang saat mereka masih berpacaran, merupakan pengikat kebersamaan mereka.

Perayaan ini bukan berarti harus mengadakan acara setiap hari. Makna perayaan dalam hal ini adalah memunculkan perasaan festive, bergembira. Tentu saja sumber perasaan itu haruslah dari pasangan kita. Kalau dulu kita sering berdebar-debar ketika bersama kekasih, nah tinggal bagaimana kita terus memunculkan perasaan itu saat bersama pasangan.

Kalau dibayangkan sepertinya mudah ya. Apalagi jika kita memikirkan masa depan kebersamaan semacam itu ketika kita masih berpacaran. Pasti bahagia sekali bisa melihat kekasih hati setiap hari. Masalahnya manusia tidak bisa menghindar dari perasaan bosan.

Masalah dalam pernikahan tak hanya soal bosan. Dalam kebanyakan kasus pasangan menikah di kota besar, rintangan muncul ketika kesibukan sangat padat dan kondisi lalu lintas yang super macet. Pertemuan suami istri dalam sehari menjadi minim. Bayangkan saja kita hanya bertemu pasangan saat pagi dan malam menjelang tidur. Hal ini menjadikan komunikasi tersendat.

Hal semacam ini juga saya alami. Akhirnya sekarang, saya menempuh cara sedikit manja. Setiap pagi saya minta diantar ke kantor oleh suami. Saya memilih tak memedulikan ongkos bensin atau kemacetan. Prinsip kami berdua, kebersamaan lebih bernilai ketimbang uang. Dan ketika berduaan di dalam mobil, sebisa mungkin berbagi cerita apapun. Jangan diganggu oleh sms atau pesan di Blackberry.

Prinsip setiap pasangan tentu berbeda-beda. Ada yang lebih enjoy untuk tetap memiliki ruang pribadi sendiri-sendiri. Teman saya ada yang paling anti untuk membicarakan problem kantor pada suaminya. “Pengennya kalau ketemu ngebahas yang indah-indah saja,” ujarnya. Namun prinsipnya itu fleksibel. Jika sudah kepepet dan bakalan memberi dampak pada kondisi kehidupan rumah tangga mereka, barulah ia bercerita pada suaminya.

Nah, kembali ke persiapan pernikahan teman saya itu, perayaan seharusnya sudah tak perlu lagi menjadi fokus utama. Apalagi pernah mengalami kegagalan. Akan lebih baik jika melakukan persiapan mental dengan memproyeksikan bakal seperti apa hidup yang akan ia jalani. Terutama ketika kondisi fisik tak seindah sekarang. Pandangan jauh ke depan inilah yang harusnya dipersiapkan saat menikah. Bukan seremonial semata.

Dimuat di kolom Ronce, Jurnal Bogor 5 Mei 2010

Dipublikasi di Kolom | Meninggalkan komentar

Pasrah dan Putus Asa

Seorang saudara suatu hari mengeluh betapa kesepiannya hidupnya. Ia merasa di usianya yang sudah sangat matang, ia belum menemukan pendamping hidup. Alih-alih calon. Teman lelaki saja sudah mulai menipis. Satu per satu teman-temannya sibuk dengan keluarganya masing-masing.

Setiap bertemu dengannya saya ikut nelangsa. Pasalnya ia lebih memilih untuk merenungi nasib. Hidupnya monoton. Dari rumah ke kantor dan setelah selesai bekerja ia juga memilih pulang ke rumah, alias tidak bersosialisasi. Saya mengusulkan untuk mengembangkan perkenalan. Sayangnya ia terbilang keras kepala. Ia merasa hidupnya tak bisa lagi diubah. Pasrah menjadi alasannya.

Bagi saya, keputusannya itu tak lebih dari sebuah keputusasaan. Bagaimana tidak. Saya bukan sekali saja mengenalkannya dengan beberapa teman pria. Saya juga yang mendorongnya untuk membuat facebook dan mengikuti beberapa portal jejaring sosial. Atau jika perlu membujuknya untuk mengikuti sejumlah kegiatan pertemanan. Namun semua usaha tersebut seperti menabrak tembok keras. Entah antara pemalu atau keras kepala, ia selalu banyak alasan.

Keengganannya ini sering kali membuat saya gemes. Ia seperti orang yang tenggelam dan saat berusaha ditolong, ia malah ikut membuat penolongnya tenggelam bersamanya. Melihat kondisinya, kepasrahannya dan situasinya yang tak maju-maju dari dulu, ikut membuat saya depresi.

Sikap seperti itu sebenarnya juga sering saya alami. Dan saya yakin juga Anda alami. Kita tahu bahwa kita memiliki masalah. Namun ketakutan kita dan bayangan-bayangan akan halangan yang menghadang membuat kita memilih untuk diam dan tidak mengambil keputusan apapun. Kita jadi takut untuk mencoba.

Dalam kasus saudara saya itu, ketakutan tersebut sudah mengental bertahun-tahun. Ia merasa percuma untuk memulai sesuatu karena takut gagal. Pengalaman yang tidak sesuai harapan menjadikannya patah arang sebelum waktunya. Pemikiran bahwa usaha apapun pasti tidak akan berhasil sudah memenuhi benaknya sebelum memulai. Akibatnya ia menjadi sosok yang kurang percaya diri dan hanya nyaman berada di sudut dan melihat keramaian.

Tanpa disadari, sering kali kita merasa nyaman menjadi penonton. Pasalnya tidak ada resiko apa pun yang bakal kita tanggung. Jika tontonan yang terjadi tidak sesuai dengan jalan cerita yang kita harapkan, kita cukup berpikir: “Tuh kan, apa kubilang. Untung aku tidak ikutan.” Saya juga demikian. Dalam sejumlah kasus saya lebih senang mengomentari atau mengkritik. Dengan posisi tersebut, saya aman dan merasa tidak terlukai.

Ketakutan memang manusiawi. Kita tak bisa menghindari situasi tersebut. Namun jika tidak menyadarinya, kita akan termakan ketakutan tersebut. Enggan untuk mencoba dan hasilnya kita tidak akan belajar apa pun.

Memetik hasil tentunya tidak akan terjadi jika kita tidak belajar untuk mencoba. Meski harus diakui, bahwa pelajaran bisa juga kita dapatkan dari pengalaman orang lain. Namun seperti halnya seorang penemu, harus melalui sejumlah kegagalan untuk menemukan formula yang terbaik. Jika tujuannya memang baik, saya rasa kegagalan demi kegagalan justru bisa membuat kita belajar untuk mengetahui kelemahan kita. Dari situ kita akan menemukan batas jelas antara putus asa dan kepasrahan.

Dimuat di kolom Ronce, Jurnal Bogor, 1 Mei 2010

Dipublikasi di Kolom | Meninggalkan komentar

Komunikasi

Seminggu silam saya berkunjung ke sebuah kota tak jauh dari Bekasi. Saat makan malam di sebuah warung seafood saya melihat sebagian besar pengunjung adalah warga Korea dan Jepang yang di antaranya sudah menikah dengan wanita Indonesia. Satu meja di belakang saya malah dihuni oleh seorang lelaki yang dari logatnya sangat asing dengan ditemani dua perempuan muda Indonesia yang cara bicaranya masih kental dialek sebuah daerah di Jawa.

Karena mereka berbicara cukup keras, saya bisa menangkap sebagian besar perbincangan mereka. Topiknya cukup ngalor ngidul. Seringkali hanya berkisar tentang cuaca, dan sejumlah pembetulan kosa kata. Jika si pria tua itu salah mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Indonesia, kedua gadis itu tertawa cekikikan. Kemudian mereka malah memperbincangkan orang di depan mereka itu satu sama lain. Mereka yakin bahwa bapak tua itu tidak akan mengerti bahwa ia telah menjadi bahan diskusi.

Di meja satunya lagi, saya melihat sebuah keluarga. Ayah terlihat entah Korea atau Jepang, ibu Indonesia dan dua anak yang berwajah perpaduan keduanya. Tak banyak perbincangan di antara mereka. Si Ayah terlihat pendiam dan asyik menikmati santapan dan minuman bir di depannya. Sementara istrinya setelah selesai makan, memilih jalan-jalan berkeliling dengan anak-anaknya.

Dari dulu saya ingin percaya bahwa komunikasi itu melibatkan tutur kata alias bersuara. Meski saya tidak menafikan ada juga komunikasi telepati. Kalau sudah seperti ini tingkat tinggi namanya. Hanya bisa dilakukan mereka yang berjenjang sufi. Tanpa mengeluarkan suara, orang yang diajak berkomunikasi sudah mengerti.

Namun untuk mereka-mereka yang masih “manusia biasa” saya masih percaya bahwa dalam berkomunikasi, diperlukan bahasa lisan. Di dalamnya tentu melibatkan kesesuaian kosa kata, bahwa untuk menunjuk sebuah buku, harus mengucapkan “buku”. Lantas ketika kosa kata berbeda, bagaimana sebuah hubungan akan harmonis? Bisa-bisa salah pengertian yang nanti-nantinya berujung konflik. Nah, kalau sudah begitu saya jadi usil membayangkan hubungan macam apa sih yang sedang dijalani perempuan-perempuan yang duduk di belakang dan di depan saya itu?

Sebuah hubungan yang memiliki kesamaan latar belakang budaya saja masih belum tentu aman. Bahasa boleh sama tapi tidak menutup kemungkinan salah mengerti. Hal ini dikarenakan komunikasi itu tak sekadar melibatkan bahasa semata. Di dalamnya ada keterlibatan emosi. Misalkan seorang suami yang sedang bete karena pekerjaan kantor, pulang ke rumah dan ditanya istrinya sudah makan atau belum. Ia menjawab sudah. Tapi jawabannya ketus. Karena intonasi dan ekspresi inilah, jawaban si suami berpotensi menyulut masalah.

Seorang teman yang bersuamikan pria Belanda mengeluh bahwa suaminya sangat malas berbagi tugas pekerjaan rumah tangga. Jika masalah ini dibahas, maka suaminya sempat menunjukkan perubahan. Namun hanya seminggu. Setelah itu tabiatnya kembali lagi. Waktu saya tanya apakah ia sudah cukup tuntas membahas hal ini, ia mengakui bahwa ada beberapa keengganan untuk membahas sebuah masalah dengan lebih detail. Pasalnya suaminya cenderung akan menggurui ketika mereka terlibat dalam perdebatan sengit. Dalam kasus teman saya itu, bahasa bukanlah kendala karena bahasa Inggrisnya super canggih. Masalah komunikasi mereka terletak pada perbedaan perspektif.

Karena itulah saya—yang mungkin terlalu serius—sering merasa nelangsa jika melihat pasangan beda bangsa yang terlihat sekali bahwa salah satu pihak kurang berpendidikan. Inilah yang saya lihat dari pasangan-pasangan yang saya temui di warung seafood yang saya ceritakan di atas. Dua perempuan yang menemani bapak tua di belakang saya sibuk cekikikan tak jelas, dan ibu rumah tangga di depan saya terlihat pasif dan lelah. Mereka bahagia tidak ya? Kalau berduaan mereka ngomong apa aja ya?

Dimuat di rubrik Ronce, Jurnal Bogor 24 April 2010

Dipublikasi di Kolom | Meninggalkan komentar

Menari Tidak Membuat Lelaki Menjadi Banci

Sebelumnya perkenankan saya menyatakan bahwa saya tidak menyatakan bahwa banci itu negatif. Ini soal sikap dan pilihan. Banci sendiri sering diidentikkan dengan sikap lelaki yang pengecut atau bertingkah laku seperti perempuan. Dan tentu saja ini tidak negatif ataupun jahat. Sekali lagi, ini pilihan.

Karenanya, saya lebih meniatkan tulisan ini untuk kaum orangtua yang merasa enggan mengizinkan atau memasukkan anak lelaki mereka untuk kursus atau belajar tari. Dengan alasan, takut anak lelaki mereka menjadi banci atau keperempuan-perempuanan.

Niat untuk mendorong orangtua supaya tidak khawatir tentang hubungan dunia tari menari ini dengan sikap macho ini muncul sejak saya sering menonton dan menulis tentang kritik tari. Saya mendapati betapa sedikitnya penari lelaki baik itu di ranah tradisi, balet, atau kontemporer di Indonesia.

Saya begitu iri dan nelangsa sewaktu pada 2007, melihat pertunjukan tari siswa-siswa Juilliard School di New York. Saat itu, saya mendatangi pementasan karya tahunan mereka. Semacam pentas seni yang dibuka untuk orangtua murid dan umum.

Fakultas Dance di sekolah seni itu menampilkan tari Soldier’s Mass karya koreografer asal Ceko, Jiri Kylian yang menjadi Artistic Director di Nederlans Dans Theater sejak 1976. Kylian menciptakan koreografi ini pada 1980.

Karya Soldier’s Mass diciptakan Kylian sebagai kenangan atas para prajurit Ceko (saat itu Cekoslowakia) yang terbunuh di Prancis saat Perang Dunia I. Tarian ini diiringi komposisi musik karya Bohuslav Martinu, komposer asal Ceko, yang menciptakannya pada 1939.

Dengan inspirasi tersebut, yang terjadi di atas panggung bukanlah perayaan kegemulaian balet yang biasa diidentikkan dengan penari-penari feminin. Tarian ini ditampilkan penari lelaki. Mereka mengenakan celana warna hijau khas tentara lengkap dengan sepatu yang dari jauh terlihat seperti sepatu bots militer.

Para siswa lelaki di Fakultas Dance tersebut menari dalam komposisi yang apik, rapi, dan tetap menonjol unsur kelelakian mereka. Mereka berhasil menyuguhkan ciri khas Kylian yang selalu presisi dalam hal komposisi ruang, entrance dan exit, dan fokus pada kontur tubuh manusia.

Saya langsung membandingkan dengan yang terjadi di Indonesia. Sangat sulit menemukan siswa lelaki di Fakultas Tari Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sudah satu dekade, penari lelaki di ranah tari balet dan kontemporer menipis drastis.

Jadi jangan harap akan menemukan wajah penari-penari lelaki baru jika Anda menonton karya dari sejumlah kelompok tari. Yang ada adalah saling meminjam penari. Kelompok tari balet dan kontemporer Sumber Cipta pimpinan Farida Oetoyo sering meminjam penari lelaki dari Sanggar Maniratari dari Solo pimpinan Ibu Wied Senja. Begitu pula penari-penari lelaki dari Gumarang Sakti akan muncul juga di karya kelompok Namarina atau karya koreografer tari kontemporer lainnya.

Begitu pula yang terjadi di tari tradisi. Para penari lelaki di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta bisa ditemui di sejumlah pertunjukan tari dari Mangkunegaran, kelompok Padneswara pimpinan Retno Maruti, atau di karya kelompok Deddy Lutan Dance Company.

Kondisi ini masih berlangsung hingga tahun ini. Terjadi kemandekan regenerasi di ranah penari lelaki di Indonesia. Tentu saja kondisi ini menyedihkan.

Saya melihat di sejumlah sekolah tari, orangtua lebih cenderung memasukkan anak perempuan untuk belajar tari. Sementara anak lelaki disuruh belajar seni bela diri atau musik. Tentu saja saya yakin bahwa orangtua melihat minat pribadi anak. Namun saya juga yakin bahwa minat juga bisa dibentuk dari lingkungan. Bagaimana anak (lelaki) tertarik dengan dunia tari jika di lingkungannya sudah terbentuk stigma bahwa tari menari adalah milik kaum perempuan.

Tentunya Anda ingat Billy Elliot, film tahun 2000 yang dibintangi Jamie Bell. Di film itu, karakter Billy Elliot begitu keukeuh untuk belajar tari meski lingkungannya tidak mendukung.

Peran lingkungan memang sangat berpengaruh. Inilah sebabnya koreografer-koreografer lelaki banyak ditemukan di masa lalu. Taruhlah seperti Sardono W. Kusumo, Miroto, Deddy Luthan, Sukarji Sriman, Tom Ibnur, hingga Boi G. Sakti.

Kemunculan para koreografer lelaki ini didukung oleh lingkungan sosial. Mereka mempelajari tari sejak kecil, masa ketika pendidikan dari zaman Soekarno memasukkan kurikulum kesenian (tari, musik, menggambar) sebagai pelajaran wajib. Belum menggilanya hiburan di televisi menjadikan sistem hiburan masyarakat di masa itu lebih memberi ruang bagi pertunjukan kesenian secara komunal.

Memang di televisi, kita melihat ada penari-penari lelaki yang mengiringi penampilan para penyanyi. Namun tetap saja ini tak sebanding dengan kebutuhan yang ada. Misalnya untuk jenis tari kontemporer dan balet yang memerlukan teknik tersendiri.

Sebentar lagi akan ada Indonesian Dance Festival ke-11 yang berlangsung dari 1-9 Juni 2011. IDF akan dibuka dengan tari Bedaya Dirodo Meto, yaitu tarian klasik Jawa Bedaya yang ditarikan oleh penari lelaki.

Meski mengambil bahasa gerak tari klasik Jawa yang halus, tarian ini sebenarnya mengambil konfigurasi strategi perang Gajah Mengamuk yang dalam bahasa Jawa dinamakan Dirodo Meto. Karya tari ini untuk mengenang perang yang dipimpin Raden Mas Said saat melawan kumpeni di Rembang pada 1756. Pada perang inilah RM Said mendapatkan julukan Pangeran Samber Nyawa.

Jadi, lihatlah bahwa dengan cara “halus” lelaki tetap bisa memperlihatkan kejantanannya. Dengan tarian, lelaki tidak akan berubah menjadi “gemulai”, kecuali memang itu menjadi pilihannya. Siapa tahu dengan mengajak anak Anda melihat IDF nanti, Anda bisa menumbuhkan minat akan dunia tari.

Dipublikasi di Kolom | Meninggalkan komentar

Cinta Sejati Tidak Akan Menciptakan Fanatisme Membabi Buta

Pelajaran tentang cinta sejati ini saya dapatkan ketika akhir pekan lalu menonton film Act of Valor bersama sekelompok penggemar hobi air soft gun dan teknologi kemiliteran. Kursi bioskop di sebuah mal di daerah Senayan, di-booking dari deretan belakang hingga tengah. Mereka menonton dengan mengenakan kaus seragam yang khusus dibuat untuk merayakan acara nonton tersebut.

Film Act of Valor cukup spesial bagi kelompok ini, karena tak hanya mengetengahkan heroisme kelompok militer Amerika, tapi bahkan diperankan oleh anggota Navy Seals asli. Alhasil, buat mereka yang mencari otentisitas sebuah cerita penyergapan militer, di film Act of Valor inilah jawabannya.

Lupakan tentang akting atau dialog. Karena diperankan oleh anggota Navy betulan, wajar ketika di luar adegan combat, para aktor gadungan ini sangat kaku berakting. Namun jangan tanya ketika mereka berada di adegan pertempuran. Dari kode komunikasi, perbincangan di radio, gerak tubuh, peralatan persenjataan, semua begitu nyata dan memukau.

Ada banyak adegan pertempuran yang tidak akan didapatkan di film action militer lainnya. Sebutlah di Platoon, Saving Private Ryan, atau Black Hawk Down.

Salah satu adegan menarik itu ketika dua perahu Special Operations Craft-Riverina (SOC-R) diangkut dengan dua helikopter MH-47E Chinook. Kapal itu diturunkan ke rawa dengan personil yang sudah nangkring di dalamnya.

Menurut para penggemar teknologi kemiliteran yang setelah acara menonton itu berkumpul untuk membahas film tersebut, mereka juga baru mendapati bahwa teknik penerjunan perahu dengan adanya awak di dalamnya, termasuk baru. Sebelum-sebelumnya, biasanya perahunya duluan baru awak manusia diturunkan dengan tali.

Adegan baru lainnya adalah ketika perahu yang dikendarai para Navy melakukan pendaratan di atas kapal selam kelas Los Angeles. Kapal selam itu muncul dari kedalaman, dan perahu dijalankan dengan presisi yang sangat tepat sehingga pada saat yang bersamaan, langsung mendarat dan parkir di geladak kapal selam itu.

Penonton awam juga akan menemukan kenyataan-kenyataan baru seputar special force (tentara khusus) yang membedakan dengan tentara biasa. Para special force ini bergerak dan menjalankan tindakannya betul-betul by the book. Semua harus sesuai rencana yang dibuat sebelum penyergapan.

Hal ini terlihat saat para Navy ini menyergap markas milik pengedar obat bernama Christo untuk menyelamatkan agen CIA yang disandera. Tim penyergapan menunggu dengan sabar sampai tim pendukung dan penjemputan siap, padahal dari dalam markas sudah terdengar jeritan si agen yang sedang disiksa.

Dengan menyandang senapan M-4, mereka bergerak masuk dengan sangat taktis, pelan dan tidak gradak-gruduk. Menurut salah satu penonton rombongan penggemar militer tadi, inilah cara special force. Berjalan pelan, tanpa suara, dan ketika menembakkan senjata, mereka sangat tahu jumlah amunisi yang dibawa. Mereka dilatih untuk langsung mengenai sasaran dan mengganti magasin sebelum peluru terakhir. Tidak ada yang namanya memberondongkan senjata yang menghabiskan peluru.

Emosi betul-betul ditekan. Ini diperlihatkan ketika salah satu tentara berhasil tiba di tempat tawanan berada. Meski tawanan ini dalam keadaan berdarah-darah, ia tetap menanyakan nama, nama ibu kandung, dan alamat rumah tawanan itu, sebagai prosedur yang tak hanya untuk mengecek tingkat kesadaran orang tersebut, namun juga memastikan identitas korban.

Yang lebih membuat kagum saya adalah saat film Act of Valor berakhir. Penonton rombongan ini tetap duduk tenang dengan takzim, dan tidak ada itu namanya bertepuk tangan atau bersorak sorai mengelu-elukan aksi para Navy ini. Mereka lebih memilih untuk berfoto bersama, kemudian berpindah tempat untuk membahas aksi militer Amerika ini.

Di sinilah saya teringat dengan pengalaman saya menonton film The Raid yang begitu gegap gempita dan bagaimana banyak komentar pedas yang tidak rela ketika saya mengkritik film The Raid. Bahkan ada yang menilai saya salah menulis jenis senapan, padahal memang ada jenis pesawat AK-74 yang jenis pelurunya lebih kecil dari AK-47. AK-74 memiliki peluru kaliber 5,45 dan AK-47 berkaliber 7,62.

Padahal yang ingin saya kritisi adalah sikap menonton, bukan film itu sendiri, karena sekali lagi itu adalah masalah selera. Setiap orang memiliki selera sendiri-sendiri dan tentu saja perbincangan yang memperdebatkan selera, akan sangat subjektif sifatnya.

Di satu sisi, saya senang berarti banyak yang menyukai film negeri sendiri dengan sangat fanatisnya sehingga sangat sakit hati ketika film favoritnya dikritik. Namun apakah ini sikap cinta sejati?

Dari sudut pandang subjektivitas saya, contoh penggemar yang mencintai dengan sikap sejati adalah kelompok yang kebetulan menonton bareng di Act of Valor tersebut. Mereka tetap memberi kritik di sana-sini, dan mengakui adanya cacat akting para pemain. Sikap mereka tidak membabi buta sehingga tidak menutup pandangan dari kritik.

Tentu saja dengan sikap ini, kita akan lebih mudah untuk membuka dialog. Keterbukaan pada kritik akan menuntun kita pada sikap saling menghargai pandangan orang lain, dan ini diperlukan ketika kita sangat mencintai sesuatu. Jika memang mencintai sebuah bidang, bukankah kritik yang didapatkan akan bisa dijadikan motivasi untuk membangun yang lebih baik, kan?

Bayangkan jika fanatisme – taruhlah pada film The Raid – ini tidak membabi buta, pastilah kita akan berusaha untuk menjadikan beberapa catatan di film itu untuk menghasilkan film laga yang lebih baik, yang betul-betul mengumpulkan karya anak negeri, dari aktor, penulis skenario, hingga sutradara.

Sekali lagi membicarakan film adalah soal selera. Namun alangkah lebih baik ketika perkara selera ini didukung dengan logika sehingga bisa menghindarkan diri pada sikap fanatisme membabi buta.

Dipublikasi di Kolom | Meninggalkan komentar

Membaca Tren Lewat Film Pilihan di Setiap Oscar

Mengapa foto hitam putih terasa lebih kuat. Pertanyaan ini saya ajukan saat bertemu dengan fotografer senior Oscar Motulloh saat kami membolak-balik buku fotografi karya aktor Jeff Bridges. Buku bertajuk Jeff Bridges Picture itu memperlihatkan foto-foto hitam putih karyanya, yang sebagian besar diabadikannya saat berada di lokasi syuting.

Saat itu Oscar mengatakan pada saya bahwa foto hitam putih menjadi terasa lebih kuat karena “memaksa” orang yang melihat untuk “memberi warna”. Ucapannya ini secara tidak langsung memberi pemahaman bagi saya bahwa kekuatan sebuah karya justru terjadi ketika berhasil memunculkan dialog dengan penontonnya.

Dan inilah yang terjadi pada film The Artist, yang tahun ini sudah meraih tiga penghargaan Golden Globes dan 10 nominasi Oscar 2012. Jumlah penghargaan ini bersaing dengan Hugo yang meraih 11 nominasi Oscar.

Saya membandingkan kedua film ini karena secara latar kisah, sama-sama berada pada tahun 1920-an-1930-an. Keduanya juga dihadirkan secara tidak konvensional menurut ukuran masa kini. The Artist bergenre film bisu dengan tampilan hitam putih, sementara Hugo menggunakan teknik 3 Dimensi yang membuat gerakan dan akting para aktornya seolah animasi.

Menghadirkan film bisu untuk penonton masa kini, sama halnya ketika Moulin Rouge muncul pada tahun 2001. Awal tahun 2000-an, penonton film sudah mulai terlupakan bagaimana rasanya melihat film musikal. Setelah Moulin Rouge melejit dan mendapat banyak penghargaan, barulah disusul sejumlah film musikal seperti Chicago, Hairspray, dan Burlesque.

Saya yakin bahwa kesuksesan The Artist tahun ini akan mendorong sejumlah sineas untuk mencoba membuat film-film bisu lainnya.

Di sisi lain, mulai ditinggalkannya kata-kata dan lebih mengandalkan visual dan ekspresi tak hanya ditampilkan The Artist. Film The Tree of Life karya Terence Malick mungkin tipe film yang sangat menggelisahkan penonton awam. Film ini membiarkan penonton untuk menerbangkan imajinasi yang ditimbulkan oleh permainan berbagai macam elemen visual layaknya karya seni rupa.

Visual surealistik sebenarnya bukan pertama kali dimunculkan The Tree of Life. Film The Cell (2000) dan The Fall (2006) yang keduanya karya sineas Tarsem Singh sudah memulainya. Meski unsur narasinya tetap menjahit pola-pola visual yang ditampilkan.

Ketiadaan atau minimnya kata-kata dan lebih menyerahkan pada visual, merupakan ajakan yang cukup berani bagi sineas untuk memercayakan interpretasi karyanya kepada publik. Di masa 1920-an hingga 1930-an, film bisu muncul sebagian besar karena permasalahan teknologi yang belum memungkinkan masuknya suara untuk menyatu bersama gambar.

Kini, kembalinya film bisu tentu saja bukan berarti adanya kendala teknologi. Bisa jadi terjadi kejenuhan dalam sinematografi dunia sehingga mencoba mencari tantangan baru dalam penyuguhan medianya.

Tentu saja, The Artist bagi saya sangat menantang. Tak hanya dari sisi penyutradaraan, skenario yang mesti menyusun adegan-adegan yang “bersuara” tapi juga tantangan terutama bagi para aktor dan aktrisnya.

Ekspresi para pemain The Artist mesti sangat “vokal”. Belum lagi mereka juga dituntut bisa menari. Sebuah tuntutan yang sebenarnya sudah diberikan sejak era film bisu. Lihat saja betapa lenturnya tubuh Charlie Chaplin, Buster Keaton, dan Marion Davies. Mereka harus bisa menggunakan tubuh untuk bisa menyuarakan narasi film.

Inilah tantangan akting para aktor. Kerja akting aktor film-film bisu tak ubahnya akting aktor teater. Mereka harus bisa melampaui batasan panggung yang sering kali jauh posisinya dari tempat duduk penonton paling belakang, namun aktingnya harus bisa menjangkau penonton ini. Bukan pada volume suara, tapi pada energi dan ekspresi yang membuat akting mereka melampaui pembatas fisik yang bisa berupa ruang, jarak, atau screen.

Inilah keunggulan industri film Amerika Serikat. Setiap tahun akan ditemukan film-film yang bakal menandai kemunculan tren pada tahun-tahun berikutnya. Ketika akting Hilary Swank meraih penghargaan saat menjadi transgender di Boys Don’t Cry (1999), kemudian muncul film-film yang memaparkan karakter-karakter lintas gender seperti Transamerica (2005).

Begitu pula penghargaan yang diterima film-film biografi (biopic) yang didapatkan Ali (2001) dan Ray (2004), masih terus menguat dengan penghargaan yang diterima film-film sejenis ini lewat The Iron Lady yang mengangkat sosok Margareth Tatcher dan My Week with Marilyn yang mengisahkan sepotong kehidupan Marilyn Monroe yang diperankan Michelle Williams.

Kemunculan pengikut ini karena bagaimanapun, film di Amerika Serikat sudah menjadi industri. Satu film yang sukses bisa dipastikan sebagai indikator keberadaan pasar di wilayah itu. Suksesnya film-film bernuansa klasik di Academy Award 2012 akan menentukan kemunculan film-film serupa tahun depan.

Dimuat di kanal blog Beritasatu.com 31 Januari 2012

Dipublikasi di Kolom | Meninggalkan komentar

Mereka yang Tidak Sepantasnya Menonton The Raid

Apakah Anda bertepuk tangan saat melihat leher seseorang digorok? Apakah Anda berseru dan memberi semangat saat seseorang dipukuli bertubi-tubi? Atau apakah Anda orangtua yang mengajak anak yang masih kecil menonton film penuh adegan kekerasan? Jika Anda berkata tidak, Anda berbohong.

Karena inilah yang saya alami saat menonton film The Raid saat Hari Raya Nyepi. Saya menonton di Plaza Senayan, Jakarta Selatan, sebuah mal yang pasti setidaknya didatangi masyarakat kelas menengah ke atas. Atau yang berpendidikan cukup tinggi.

Sudah lama saya tidak menonton film Indonesia. Mungkin sudah lima tahunan. Banyak alasannya. Salah satunya ulasan yang sering tidak berimbang yang saya temukan di berbagai media.

Saya sadar bahwa ketika mengulas film Indonesia, kita tak bisa memakai ukuran film Hollywood atau Eropa yang jika diibaratkan manusia, mereka sudah berlari. Sementara kita? Sudah bisa merangkak pun syukur alhamdullilah.

Karena itulah saya tidak hendak membicarakan The Raid itu sendiri. Bagi saya, film ini baru dalam tahap merangkak untuk ukuran film action. Masih ada beberapa lubang logika di sana-sini. Mulai dari tiadanya badge atau tanda apa pun di seragam yang dikenakan jagoan-jagoan di film itu, yang menerangkan mereka masuk dalam kesatuan apa di kepolisian. Juga bagaimana senjata-senjata canggih seperti AK 74 bisa digunakan para preman di film itu. Belum lagi dialog yang masih pause seolah-olah aktor yang bertugas melontarkan dialog itu sempat kelupaan.

Masih panjang sebenarnya sederetan cacat logika yang muncul di The Raid. Tapi sudahlah. Film yang sebenarnya bukan disutradarai dan diproduksi penduduk Indonesia – hanya pemain dan kru saja yang dari Indonesia – ini harus didukung. Setidaknya diharapkan bisa mendorong insan perfilman tanah air berniat untuk menyempurnakan ranah film negeri sendiri.

Kesan saya menonton The Raid justru tergelisahkan oleh reaksi penonton. Menonton di bioskop tentu saja harus bersiap sedia untuk berbagi ruang dengan orang lain. Ini yang harus dipahami dan semestinya saya juga. Namun saya sungguh berharap ada kode-kode bersama yang dipahami secara komunal.

Kode-kode ini sama seperti ketika kita berada di sebuah konser. Kita seharusnya tidak menghidupkan alat-alat telekomunikasi, dan bahkan bertepuk tangan setelah sebuah komposisi selesai dimainkan. Ini kode yang membuktikan bahwa penonton yang hadir cukup beradab dan berbudaya.

Bioskop adalah ruang yang lebih cair daripada ruang konser. Saya maklum jika masih ada satu dua orang yang tanpa sengaja ponselnya menyala. Atau tiba-tiba cekikikan sendiri, karena mungkin saja sebuah adegan tertentu mengingatkannya tentang sesuatu secara subjektif.

Saat menonton The Raid itulah, saya mendapati kejadian-kejadian yang tak bisa saya terima secara pribadi. Sebelum film dimulai, saya mendengar di deretan belakang – saya duduk di bagian tengah – seorang anak kecil menangis. Namun hingga film berlangsung, saya tak melihat orangtua yang pergi meninggalkan ruangan.

Begitu film dimulai, saya mendapati adegan kekerasan The Raid begitu sadis. Bahkan bagi saya pribadi mengalahkan film Kill Bill. Film ini seolah-olah merayakan ritus kekejaman yang begitu blak-blakan. Perut saya mulai mual melihat leher yang digorok berkali-kali, tusukan benda tajam ke tubuh manusia, dan kepala yang dibentur-benturkan ke dinding.

Namun yang membuat saya lebih mual adalah ketika mulai ada suara tepuk tangan saat sang jagoan, Rama (yang diperankan aktor Iko Uwais) melumpuhkan dan membunuh satu per satu musuhnya. Mulanya hanya satu dua orang yang bertepuk tangan. Kemudian tiba-tiba hampir setengah penonton bertepuk tangan disertai suara sorakan.

Saya tiba-tiba merasa terlempar ke era Romawi saat pertandingan gladiator berjaya. Orang beramai-ramai bersorak jika ada satu pihak yang terbunuh. Saya salah tempat.

Entah ini dramatis atau tidak, tapi saya betul-betul terpukul jika tepuk tangan penonton The Raid itu karena begitu senang melihat jagoannya membunuh musuhnya. Entah itu pihak yang benar ataupun salah, bagi saya seharusnya kekerasan yang memakan korban jiwa tak harus dirayakan dengan gegap gempita.

Pikiran saya jadi berlarut-larut. Memikirkan apakah memang bangsa ini sudah begitu terbiasanya melihat kekerasan. Sehingga penonton yang notabene kelas menengah ke atas dan terdidik seperti mereka yang ada di Plaza Senayan, begitu menyukai apa yang terpampang di The Raid hingga bertepuk tangan. Atau dengan entengnya mengajak anak di bawah umur untuk menonton adegan film yang di Amerika Serikat pasti sudah dilabeli R (Restricted).

Melarang anak kecil menonton film tidak hanya terbatas pada adegan seksual. Tapi juga untuk kekerasan. Dan saya tak habis pikir jika orangtua tak mempertimbangkan efek film kekerasan pada anaknya.

Saya tidak tahu siapa yang sepantasnya menonton film The Raid. Dari perspektif saya, film ini seharusnya memberi batasan usia pada penontonnya. Namun menginginkan pembatasan usia untuk penonton bioskop kita seperti halnya mengharap korupsi tak lagi jadi budaya di negeri ini.

Sementara mengharapkan penonton untuk tidak bertepuk tangan saat Rama menghajar musuh-musuhnya, tentu saja tak mungkin. Itu hak mereka. Jika niat mereka bertepuk tangan adalah bentuk dukungan terhadap film Indonesia, kenapa tidak dilakukan di bagian akhir, bukannya di setiap adegan.

Jika memang tepuk tangan itu ditujukan untuk merayakan kemenangan sang jagoan – dengan cara kekerasan – mungkin sayalah yang masuk dalam bagian mereka yang tidak sepantasnya menonton The Raid.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar