Pasrah dan Putus Asa

Seorang saudara suatu hari mengeluh betapa kesepiannya hidupnya. Ia merasa di usianya yang sudah sangat matang, ia belum menemukan pendamping hidup. Alih-alih calon. Teman lelaki saja sudah mulai menipis. Satu per satu teman-temannya sibuk dengan keluarganya masing-masing.

Setiap bertemu dengannya saya ikut nelangsa. Pasalnya ia lebih memilih untuk merenungi nasib. Hidupnya monoton. Dari rumah ke kantor dan setelah selesai bekerja ia juga memilih pulang ke rumah, alias tidak bersosialisasi. Saya mengusulkan untuk mengembangkan perkenalan. Sayangnya ia terbilang keras kepala. Ia merasa hidupnya tak bisa lagi diubah. Pasrah menjadi alasannya.

Bagi saya, keputusannya itu tak lebih dari sebuah keputusasaan. Bagaimana tidak. Saya bukan sekali saja mengenalkannya dengan beberapa teman pria. Saya juga yang mendorongnya untuk membuat facebook dan mengikuti beberapa portal jejaring sosial. Atau jika perlu membujuknya untuk mengikuti sejumlah kegiatan pertemanan. Namun semua usaha tersebut seperti menabrak tembok keras. Entah antara pemalu atau keras kepala, ia selalu banyak alasan.

Keengganannya ini sering kali membuat saya gemes. Ia seperti orang yang tenggelam dan saat berusaha ditolong, ia malah ikut membuat penolongnya tenggelam bersamanya. Melihat kondisinya, kepasrahannya dan situasinya yang tak maju-maju dari dulu, ikut membuat saya depresi.

Sikap seperti itu sebenarnya juga sering saya alami. Dan saya yakin juga Anda alami. Kita tahu bahwa kita memiliki masalah. Namun ketakutan kita dan bayangan-bayangan akan halangan yang menghadang membuat kita memilih untuk diam dan tidak mengambil keputusan apapun. Kita jadi takut untuk mencoba.

Dalam kasus saudara saya itu, ketakutan tersebut sudah mengental bertahun-tahun. Ia merasa percuma untuk memulai sesuatu karena takut gagal. Pengalaman yang tidak sesuai harapan menjadikannya patah arang sebelum waktunya. Pemikiran bahwa usaha apapun pasti tidak akan berhasil sudah memenuhi benaknya sebelum memulai. Akibatnya ia menjadi sosok yang kurang percaya diri dan hanya nyaman berada di sudut dan melihat keramaian.

Tanpa disadari, sering kali kita merasa nyaman menjadi penonton. Pasalnya tidak ada resiko apa pun yang bakal kita tanggung. Jika tontonan yang terjadi tidak sesuai dengan jalan cerita yang kita harapkan, kita cukup berpikir: “Tuh kan, apa kubilang. Untung aku tidak ikutan.” Saya juga demikian. Dalam sejumlah kasus saya lebih senang mengomentari atau mengkritik. Dengan posisi tersebut, saya aman dan merasa tidak terlukai.

Ketakutan memang manusiawi. Kita tak bisa menghindari situasi tersebut. Namun jika tidak menyadarinya, kita akan termakan ketakutan tersebut. Enggan untuk mencoba dan hasilnya kita tidak akan belajar apa pun.

Memetik hasil tentunya tidak akan terjadi jika kita tidak belajar untuk mencoba. Meski harus diakui, bahwa pelajaran bisa juga kita dapatkan dari pengalaman orang lain. Namun seperti halnya seorang penemu, harus melalui sejumlah kegagalan untuk menemukan formula yang terbaik. Jika tujuannya memang baik, saya rasa kegagalan demi kegagalan justru bisa membuat kita belajar untuk mengetahui kelemahan kita. Dari situ kita akan menemukan batas jelas antara putus asa dan kepasrahan.

Dimuat di kolom Ronce, Jurnal Bogor, 1 Mei 2010

Tentang dewiriautari

A writer who wanna find a better word. An impulsive person who dare take a challenge to find an adventure.
Pos ini dipublikasikan di Kolom. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar