Komunikasi

Seminggu silam saya berkunjung ke sebuah kota tak jauh dari Bekasi. Saat makan malam di sebuah warung seafood saya melihat sebagian besar pengunjung adalah warga Korea dan Jepang yang di antaranya sudah menikah dengan wanita Indonesia. Satu meja di belakang saya malah dihuni oleh seorang lelaki yang dari logatnya sangat asing dengan ditemani dua perempuan muda Indonesia yang cara bicaranya masih kental dialek sebuah daerah di Jawa.

Karena mereka berbicara cukup keras, saya bisa menangkap sebagian besar perbincangan mereka. Topiknya cukup ngalor ngidul. Seringkali hanya berkisar tentang cuaca, dan sejumlah pembetulan kosa kata. Jika si pria tua itu salah mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Indonesia, kedua gadis itu tertawa cekikikan. Kemudian mereka malah memperbincangkan orang di depan mereka itu satu sama lain. Mereka yakin bahwa bapak tua itu tidak akan mengerti bahwa ia telah menjadi bahan diskusi.

Di meja satunya lagi, saya melihat sebuah keluarga. Ayah terlihat entah Korea atau Jepang, ibu Indonesia dan dua anak yang berwajah perpaduan keduanya. Tak banyak perbincangan di antara mereka. Si Ayah terlihat pendiam dan asyik menikmati santapan dan minuman bir di depannya. Sementara istrinya setelah selesai makan, memilih jalan-jalan berkeliling dengan anak-anaknya.

Dari dulu saya ingin percaya bahwa komunikasi itu melibatkan tutur kata alias bersuara. Meski saya tidak menafikan ada juga komunikasi telepati. Kalau sudah seperti ini tingkat tinggi namanya. Hanya bisa dilakukan mereka yang berjenjang sufi. Tanpa mengeluarkan suara, orang yang diajak berkomunikasi sudah mengerti.

Namun untuk mereka-mereka yang masih “manusia biasa” saya masih percaya bahwa dalam berkomunikasi, diperlukan bahasa lisan. Di dalamnya tentu melibatkan kesesuaian kosa kata, bahwa untuk menunjuk sebuah buku, harus mengucapkan “buku”. Lantas ketika kosa kata berbeda, bagaimana sebuah hubungan akan harmonis? Bisa-bisa salah pengertian yang nanti-nantinya berujung konflik. Nah, kalau sudah begitu saya jadi usil membayangkan hubungan macam apa sih yang sedang dijalani perempuan-perempuan yang duduk di belakang dan di depan saya itu?

Sebuah hubungan yang memiliki kesamaan latar belakang budaya saja masih belum tentu aman. Bahasa boleh sama tapi tidak menutup kemungkinan salah mengerti. Hal ini dikarenakan komunikasi itu tak sekadar melibatkan bahasa semata. Di dalamnya ada keterlibatan emosi. Misalkan seorang suami yang sedang bete karena pekerjaan kantor, pulang ke rumah dan ditanya istrinya sudah makan atau belum. Ia menjawab sudah. Tapi jawabannya ketus. Karena intonasi dan ekspresi inilah, jawaban si suami berpotensi menyulut masalah.

Seorang teman yang bersuamikan pria Belanda mengeluh bahwa suaminya sangat malas berbagi tugas pekerjaan rumah tangga. Jika masalah ini dibahas, maka suaminya sempat menunjukkan perubahan. Namun hanya seminggu. Setelah itu tabiatnya kembali lagi. Waktu saya tanya apakah ia sudah cukup tuntas membahas hal ini, ia mengakui bahwa ada beberapa keengganan untuk membahas sebuah masalah dengan lebih detail. Pasalnya suaminya cenderung akan menggurui ketika mereka terlibat dalam perdebatan sengit. Dalam kasus teman saya itu, bahasa bukanlah kendala karena bahasa Inggrisnya super canggih. Masalah komunikasi mereka terletak pada perbedaan perspektif.

Karena itulah saya—yang mungkin terlalu serius—sering merasa nelangsa jika melihat pasangan beda bangsa yang terlihat sekali bahwa salah satu pihak kurang berpendidikan. Inilah yang saya lihat dari pasangan-pasangan yang saya temui di warung seafood yang saya ceritakan di atas. Dua perempuan yang menemani bapak tua di belakang saya sibuk cekikikan tak jelas, dan ibu rumah tangga di depan saya terlihat pasif dan lelah. Mereka bahagia tidak ya? Kalau berduaan mereka ngomong apa aja ya?

Dimuat di rubrik Ronce, Jurnal Bogor 24 April 2010

Tentang dewiriautari

A writer who wanna find a better word. An impulsive person who dare take a challenge to find an adventure.
Pos ini dipublikasikan di Kolom. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar