Perayaan

Kabar gembira baru saja saya terima dari seorang kawan. Ia akan menikah untuk kedua kalinya. Pernikahannya yang pertama berakhir setahun silam. Jadi hanya butuh waktu setahun baginya untuk menemukan pendamping yang baru. Untuk pernikahan keduanya ini ia juga akan merayakannya dalam dua kali acara. Salah satunya di luar negeri.

Tak ada salahnya memang merayakan pernikahan yang bukan kali pertama. Toh apa pun atas nama cinta sangatlah pantas untuk dirayakan. Sepanjang masih ada rejeki, syah-syah saja kita berbagi kebahagiaan.

Nah, yang akan saya bahas di tulisan ini lebih kepada makna perayaan bagi perempuan. Saya masih ingat ketika mempersiapkan pernikahan. Fokus untuk tampil kinclong saat resepsi menjadikan saya menempuh cara yang sebenarnya wajar bagi kaum perempuan, namun terbilang ekstrem bagi lawan jenis. Dari diet, luluran, peeling, facial dan fitness. Ada teman saya yang khusus melakukan hair extention demi terlihat feminin. Tak heran ada istilah bridezilla. Plesetan dari bride dan Godzilla untuk merujuk kegilaan wanita saat menikah.

Kegilaan (semoga sesaat) itu pantas untuk dilakukan dengan asumsi bahwa pernikahan adalah perayaan sekali seumur hidup. Kapan lagi kita menjadi pusat perhatian dalam sehari. Menjadi raja dan ratu dimana para tamu undangan adalah rakyat yang datang membawa upeti.

Inilah yang membuat perempuan seolah merasa mendapatkan alasan untuk melakukan sejumlah persiapan fisik. Padahal selepas dipajang sehari penuh, ada kehidupan yang justru lebih menuntut persiapan mental. Pernikahan bukanlah perayaan sehari. Di dalamnya melibatkan kehidupan sehari-hari yang harus dilewati dua orang yang berbeda.

Kehidupan yang akan berganti selamanya inilah yang harus dijadikan perayaan setiap hari. Tanpa ada semangat untuk merayakannya, pasangan suami istri akan kehilangan bara cinta yang saat mereka masih berpacaran, merupakan pengikat kebersamaan mereka.

Perayaan ini bukan berarti harus mengadakan acara setiap hari. Makna perayaan dalam hal ini adalah memunculkan perasaan festive, bergembira. Tentu saja sumber perasaan itu haruslah dari pasangan kita. Kalau dulu kita sering berdebar-debar ketika bersama kekasih, nah tinggal bagaimana kita terus memunculkan perasaan itu saat bersama pasangan.

Kalau dibayangkan sepertinya mudah ya. Apalagi jika kita memikirkan masa depan kebersamaan semacam itu ketika kita masih berpacaran. Pasti bahagia sekali bisa melihat kekasih hati setiap hari. Masalahnya manusia tidak bisa menghindar dari perasaan bosan.

Masalah dalam pernikahan tak hanya soal bosan. Dalam kebanyakan kasus pasangan menikah di kota besar, rintangan muncul ketika kesibukan sangat padat dan kondisi lalu lintas yang super macet. Pertemuan suami istri dalam sehari menjadi minim. Bayangkan saja kita hanya bertemu pasangan saat pagi dan malam menjelang tidur. Hal ini menjadikan komunikasi tersendat.

Hal semacam ini juga saya alami. Akhirnya sekarang, saya menempuh cara sedikit manja. Setiap pagi saya minta diantar ke kantor oleh suami. Saya memilih tak memedulikan ongkos bensin atau kemacetan. Prinsip kami berdua, kebersamaan lebih bernilai ketimbang uang. Dan ketika berduaan di dalam mobil, sebisa mungkin berbagi cerita apapun. Jangan diganggu oleh sms atau pesan di Blackberry.

Prinsip setiap pasangan tentu berbeda-beda. Ada yang lebih enjoy untuk tetap memiliki ruang pribadi sendiri-sendiri. Teman saya ada yang paling anti untuk membicarakan problem kantor pada suaminya. “Pengennya kalau ketemu ngebahas yang indah-indah saja,” ujarnya. Namun prinsipnya itu fleksibel. Jika sudah kepepet dan bakalan memberi dampak pada kondisi kehidupan rumah tangga mereka, barulah ia bercerita pada suaminya.

Nah, kembali ke persiapan pernikahan teman saya itu, perayaan seharusnya sudah tak perlu lagi menjadi fokus utama. Apalagi pernah mengalami kegagalan. Akan lebih baik jika melakukan persiapan mental dengan memproyeksikan bakal seperti apa hidup yang akan ia jalani. Terutama ketika kondisi fisik tak seindah sekarang. Pandangan jauh ke depan inilah yang harusnya dipersiapkan saat menikah. Bukan seremonial semata.

Dimuat di kolom Ronce, Jurnal Bogor 5 Mei 2010

Tentang dewiriautari

A writer who wanna find a better word. An impulsive person who dare take a challenge to find an adventure.
Pos ini dipublikasikan di Kolom. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar