Mereka yang Tidak Sepantasnya Menonton The Raid

Apakah Anda bertepuk tangan saat melihat leher seseorang digorok? Apakah Anda berseru dan memberi semangat saat seseorang dipukuli bertubi-tubi? Atau apakah Anda orangtua yang mengajak anak yang masih kecil menonton film penuh adegan kekerasan? Jika Anda berkata tidak, Anda berbohong.

Karena inilah yang saya alami saat menonton film The Raid saat Hari Raya Nyepi. Saya menonton di Plaza Senayan, Jakarta Selatan, sebuah mal yang pasti setidaknya didatangi masyarakat kelas menengah ke atas. Atau yang berpendidikan cukup tinggi.

Sudah lama saya tidak menonton film Indonesia. Mungkin sudah lima tahunan. Banyak alasannya. Salah satunya ulasan yang sering tidak berimbang yang saya temukan di berbagai media.

Saya sadar bahwa ketika mengulas film Indonesia, kita tak bisa memakai ukuran film Hollywood atau Eropa yang jika diibaratkan manusia, mereka sudah berlari. Sementara kita? Sudah bisa merangkak pun syukur alhamdullilah.

Karena itulah saya tidak hendak membicarakan The Raid itu sendiri. Bagi saya, film ini baru dalam tahap merangkak untuk ukuran film action. Masih ada beberapa lubang logika di sana-sini. Mulai dari tiadanya badge atau tanda apa pun di seragam yang dikenakan jagoan-jagoan di film itu, yang menerangkan mereka masuk dalam kesatuan apa di kepolisian. Juga bagaimana senjata-senjata canggih seperti AK 74 bisa digunakan para preman di film itu. Belum lagi dialog yang masih pause seolah-olah aktor yang bertugas melontarkan dialog itu sempat kelupaan.

Masih panjang sebenarnya sederetan cacat logika yang muncul di The Raid. Tapi sudahlah. Film yang sebenarnya bukan disutradarai dan diproduksi penduduk Indonesia – hanya pemain dan kru saja yang dari Indonesia – ini harus didukung. Setidaknya diharapkan bisa mendorong insan perfilman tanah air berniat untuk menyempurnakan ranah film negeri sendiri.

Kesan saya menonton The Raid justru tergelisahkan oleh reaksi penonton. Menonton di bioskop tentu saja harus bersiap sedia untuk berbagi ruang dengan orang lain. Ini yang harus dipahami dan semestinya saya juga. Namun saya sungguh berharap ada kode-kode bersama yang dipahami secara komunal.

Kode-kode ini sama seperti ketika kita berada di sebuah konser. Kita seharusnya tidak menghidupkan alat-alat telekomunikasi, dan bahkan bertepuk tangan setelah sebuah komposisi selesai dimainkan. Ini kode yang membuktikan bahwa penonton yang hadir cukup beradab dan berbudaya.

Bioskop adalah ruang yang lebih cair daripada ruang konser. Saya maklum jika masih ada satu dua orang yang tanpa sengaja ponselnya menyala. Atau tiba-tiba cekikikan sendiri, karena mungkin saja sebuah adegan tertentu mengingatkannya tentang sesuatu secara subjektif.

Saat menonton The Raid itulah, saya mendapati kejadian-kejadian yang tak bisa saya terima secara pribadi. Sebelum film dimulai, saya mendengar di deretan belakang – saya duduk di bagian tengah – seorang anak kecil menangis. Namun hingga film berlangsung, saya tak melihat orangtua yang pergi meninggalkan ruangan.

Begitu film dimulai, saya mendapati adegan kekerasan The Raid begitu sadis. Bahkan bagi saya pribadi mengalahkan film Kill Bill. Film ini seolah-olah merayakan ritus kekejaman yang begitu blak-blakan. Perut saya mulai mual melihat leher yang digorok berkali-kali, tusukan benda tajam ke tubuh manusia, dan kepala yang dibentur-benturkan ke dinding.

Namun yang membuat saya lebih mual adalah ketika mulai ada suara tepuk tangan saat sang jagoan, Rama (yang diperankan aktor Iko Uwais) melumpuhkan dan membunuh satu per satu musuhnya. Mulanya hanya satu dua orang yang bertepuk tangan. Kemudian tiba-tiba hampir setengah penonton bertepuk tangan disertai suara sorakan.

Saya tiba-tiba merasa terlempar ke era Romawi saat pertandingan gladiator berjaya. Orang beramai-ramai bersorak jika ada satu pihak yang terbunuh. Saya salah tempat.

Entah ini dramatis atau tidak, tapi saya betul-betul terpukul jika tepuk tangan penonton The Raid itu karena begitu senang melihat jagoannya membunuh musuhnya. Entah itu pihak yang benar ataupun salah, bagi saya seharusnya kekerasan yang memakan korban jiwa tak harus dirayakan dengan gegap gempita.

Pikiran saya jadi berlarut-larut. Memikirkan apakah memang bangsa ini sudah begitu terbiasanya melihat kekerasan. Sehingga penonton yang notabene kelas menengah ke atas dan terdidik seperti mereka yang ada di Plaza Senayan, begitu menyukai apa yang terpampang di The Raid hingga bertepuk tangan. Atau dengan entengnya mengajak anak di bawah umur untuk menonton adegan film yang di Amerika Serikat pasti sudah dilabeli R (Restricted).

Melarang anak kecil menonton film tidak hanya terbatas pada adegan seksual. Tapi juga untuk kekerasan. Dan saya tak habis pikir jika orangtua tak mempertimbangkan efek film kekerasan pada anaknya.

Saya tidak tahu siapa yang sepantasnya menonton film The Raid. Dari perspektif saya, film ini seharusnya memberi batasan usia pada penontonnya. Namun menginginkan pembatasan usia untuk penonton bioskop kita seperti halnya mengharap korupsi tak lagi jadi budaya di negeri ini.

Sementara mengharapkan penonton untuk tidak bertepuk tangan saat Rama menghajar musuh-musuhnya, tentu saja tak mungkin. Itu hak mereka. Jika niat mereka bertepuk tangan adalah bentuk dukungan terhadap film Indonesia, kenapa tidak dilakukan di bagian akhir, bukannya di setiap adegan.

Jika memang tepuk tangan itu ditujukan untuk merayakan kemenangan sang jagoan – dengan cara kekerasan – mungkin sayalah yang masuk dalam bagian mereka yang tidak sepantasnya menonton The Raid.

Tentang dewiriautari

A writer who wanna find a better word. An impulsive person who dare take a challenge to find an adventure.
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar